Selasa, 12 Februari 2008

POLUSI

DIBALIK PEMBANGUNAN

PELABUHAN TANJUNG API-API DI KAWASAN

SEMENANJUNG BANYUASIN DAN TAMAN NASIONAL SEMBILANG

Pengantar

Saat ini, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan sedang gencar-gencarnya mempromosikan pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api. Untuk mendukung kegiatan pembangunan ini, serangakaian kegiatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap proyek ini telah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan (Anon 2004) berdasarkan kepada suatu Disain Rencana Tata Ruang Detail (Desember,2002). Sayangnya, dari kedua dokumen yang telah disusun tersebut terdapat beberapa kelemahan yang sangat mendasar. Salah satu sisi lemah dari isi dokumen tersebut adalah sedikitnya informasi yang akurat mengenai Keanekaragaman Hayati dilokasi pembangunan pelabuhan tersebut dan yang lebih parah lagi sedikit sekali disinggung keberadaan Taman Nasional Sembilang yang berada dekat sekali dengan kawasan calon pelabuhan Samudera. Isi dokumen tersebut bahkan tidak menyinggung sama sekali dampak dari pembangunan pelabuhan Tanjung api-api terhadap Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Sembilang yang lokasinya sangat dekat dengan lokasi pelabuhan tersebut.

Posisi Pelabuhan Samudera sekitar 5-6 km di Sebelah tenggara dari Taman Nasional Sembilang jelas-jelas akan menimbulkan dampak kepada keberadaan TNS. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak ekologi, ekonomi maupun social. Dari sisi ekologi, dampak dapat dibagi kepada dampak kepada fisik kawasan dan dampak terhadap keanekaragaman hayati.

Oleh karena itu perlu kami berikan suatu kajian pengantar yang dapat memperkaya informasi-informasi yang masih diperlukan dalam mengelola dan mewujudkan pelabuhan Samudera Tanjung Api api yang ramah lingkungan.

Dampak terhadap kawasan Taman Nasional Sembilang

Berdasarkan pengamatan pada peta TNS dan Tj Api2, diketahui bahwa titik terdekat antara dua kawasan ini berjarak sekitar 5-6 km saja, dipisahkan oleh laut/muara dari sungai Lalan. Dengan jarak yg tidak terlalu jauh memiliki potensi dimana segala perubahan kondisi lingkungan di daerah Tanjung Api2 akan mempengaruhi ekosistem alami TNS, termasuk konversi dari habitat Hutan Bakau dan Nipah menjadi kawasan Pelabuhan, pemukiman dan Industri. Dalam hal ini, salah satu habitat yang terganggu adalah kawasan dataran lumpur (mudflat) yang umum terdapat di muara-muara sungai yang membawa endapan Lumpur. Di semenanjung Banyuasin (termasuk sktr Tjg Api2) banyak terdapat dataran lumpur yang terbentuk secara alami akibat pengaruh dari sedimentasi lumpur yang terbawa arus sungai yang ditangkap oleh akar-akar pohon bakau. Dataran lumpur ini memiliki fungsi ekologis dan merupakan suatu bagian kesatuan dengan TNS. Menurut Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan BAsah (2004) kawasan yang kelihatannya seperti tandus ini sebetulnya sangat subur karena banyak menerima suplai nutrient dan dihuni oleh berbagai jenis organisme bentik. Ketika air surut, kawasan ini menjadi surga makan bagi burung air, sedangkan di saat pasang akan dipenuhi oleh berbagai jenis ikan yang menguntungkan bagi para nelayan. Dalam dokumen ini juga dinyatakan bahwa Semenanjung Banyuasin adalah salah satu daerah yang memiliki ekosistem dataran Lumpur yang sangat luas. Dataran Lumpur di wilayah ini dapat menjorok sejauh kearah laut lebih dari 1,5 km dari garis pantai, dengan kondisi dinamis yang dipengaruhi oleh pasang surut dan sedimentasi yang terjadi. Setiap tahunnya jutaan burung migrant memanfaatkan kawasan ini untuk beristirahat dalam perjalanan migrasinya.

Adanya usaha-usaha pengerukan untuk memperdalam kedalaman air di sekitar lokasi pelabuhan, dikhawatirkan akan merusak keberadaan dataran lumpur. Dimana selain dataran lumpur tersebut terkena kerukan juga dikhawatirkan tererosi oleh hempasan ombak kapal-kapal besar yang lewat. Pengambilan lumpur untuk menimbun daratan yang akan dibangun sebagai lokasi pelabuhan juga akan berdampak negatif apabila tanah yang digunakan berasal dari dataran lumpur yang ada.

Sebenarnya, sejak ditetapkannya kawasan TN Sembilang oleh SK Menhut No. 95 Tahun 2003 dengan luas 202.000 ha, telah pula diusulkan rasionalisasi batas-batas kawasan TNS. Rasionalisasi ini termasuk mengusulkan masuknya daerah-daerah penting di hulu sungai dikawasan TNS, dan areal pantai/laut sekeliling kawasan. Termasuk wilayah perairan dan dataran lumpur Semenanjung Banyuasin di sebelah barat laut Tjg Api2. Proses rasionalisasi ini masih berjalan dan saat ini usulan telah sampai di tingkat Departemen Kehutanan di pusat untuk penetapan rasionalisasi batas. Akan tetapi sehubungan dengan belum ditunjuknya UPT khusus kawasan ini, proses penetapan ini menjadi tersendat. AKan tetapi komponen pemerintah kabupaten dan propinsi telah mengetahui rasionalisasi kawasan ini dan telah memberikan input dan masukan. Demi keberadaan TNS, sudah sepantasnya pembangunan kawasan Tj Api-api juga mengindahkan kesepakatan dalam rasionalisasi dan tidak hanya memandang batas kawasan yang sudah ditetapkan menteri.

Dari sisi pengelolaan, sepatutnya UPT TNS (saat ini masih dikelola oleh BKSDA SS) dilibatkan dalam persiapan dan pengelolaan kawasan sekitar Tjg Api-api. Atau paling tidak memiliki wewenang dalam menentukan apakah suatu kegiatan dapat dilakukan di sekitar kawasan TNS yang berdampingan dengan lokasi Pelabuhan. Pembangunan sebuah kantor atau Pos Jaga di sisi TNS beserta sarana dan prasarananya akan sangat membantu dalam kegiatan pengawasana kawasan, yang sebenarnya juga meringankan tugas dan tanggung jawab pengelola Pelabuhan.

Dampak Terhadap Keanekaragaman hayati

Fakta mengenai kondisi Burung di TN. Sembilang

Paling sedikit 213 spesies burung telah dicatat untuk TN Sembilang (data PBS) termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti Pecuk-ular Asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari Pelikan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, Bangau Storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor Bangau Bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor Bangau Tongtong (Leptoptilos javanicus), Cangak Laut (Ardea sumatrana), Rangkong (Buceros vigil, Aceros subruficollis, dan Aceros corrugatus), serta lebih dari 28 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 Trinil-lumpur Asia (Limnodromus semipalmatus), 28 ekor Trinil Nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 Gajahan Timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut (Sternidae).

Jumlah total burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor (Danielsen & Verheught, 1990) dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan Bangau Bluwok, Bangau Tongtong, dan Ibis-Cucuk Besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies Kuntul (Silvius 1986).

Fakta mengenai TN. Sembilang sebagai habitat hidupan liar:

· Daerah TN Sembilang masih mendukung keberadaan satwa yang sebagian diantaranya adalah jenis yang terancam punah dan dilindungi. Hutan bakau di kawasan ini merupakan daerah penting sebagai tempat mencari makan, bersarang, beristirahat bagi beberapa jenis satwa yang terancam punah seperti Bluwok Mycteria cinerea, Bangau tongtong Leptoptilus javanicus, Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, buaya muara Crocodillus porosus.

· Danielsen & Verheught, 1990 menyebutkan bahwa daerah hutan bakau (bagian berlumpur, mudflat) di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan menyediakan tempat untuk mencari makan dan tempat bertengger bagi burung migran seperti Trinil-lumpur Asia Limnodromus semipalmatus, Biru-laut ekor hitam Limosa limosa, Biru-laut ekor blorok Limosa lapponica, Gajahan Numenius spp. Saat ini sebagian besar hutan bakau yang tersisa di pantai Timur Sumatera berada di kawasan Sembilang, dan masih menjadi tempat mencari makan dan beristirahat bagi burung pantai migran tersebut. Namun saat ini tekanan oleh tingginya aktivitas manusia di kawasan ini sangat mengancam keberadaan burung pantai migran tersebut.

Kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan pembangunan pelabuhan tg.api-api:

· Pengerukan yang akan dilakukan dapat berdampak terhadap daerah tempat istirahat dan mencari makan bagi burung-burung air (baik yang bermigrasi maupun penetap). Lokasi-lokasi yang penting antara lain: Daerah mudflat sekitar Tanjung Tengkorak (mulai Sungai Barong hingga dekat muara Sungai Semibilang, Daerah Tanjung Carat, Muara Sungai Solok Buntu, serta daerah mudflat antara muara Sungai Bungin hingga Sungai Solok Buntu.

· Perubahan yang terjadi dapat berakibat menurunnya kualitas perairan di sekitar lokasi pembangunan pelabuhan ini dapat berdampak pada hilangnya berbagai plasma nuftah yang menjadi makanan burung-burung tersebut.

· Pencemaran daerah perairan akan meningkat seiring meningkatnya lalu-lintas kapal di daerah tersebut, tentu ini dapat berdampak buruk juga bagi hidupan liar di Semenanjuan Banyuasin.

Hilangnya tempat bersinggah bagi burung migran berarti semakin besar ancaman kepunahannya karena tidak adanya tempat yang bisa menyediakan makanan baginya di musim dingin. Punahnya populasi burung migran akibat perubahan/konversi habitat alaminya oleh kegiatan manusia akan memicu kemarahan dunia internasional karena burung migran merupakan satwa yang dilindungi secara global. Secara tidak disadari, pembangunan pelabuhan Samudera Tanjung Api-api dapat menimbulkan dampak global pula.

Fakta mengenai keberadaan Lumba-lumba di Semenanjung Banyuasin

Salah satu fauna penting yang terdapat di pesisir Banyuasin yang juga terdapat dilokasi pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api yang tidak disinggung oleh tim penyusun dokumen AMDAL adalah keberadaan populasi Lumba-lumba. Di pesisir Banyuasin juga (termasuk di sekitar lokasi pelabuhan Tanjung Api-api) dilaporkan terdapat dua jenis Lumba-lumba, yaitu Lumba-lumba Bongkok Sousa chinensis dan Pesut Orcaella brevirostris. Keberadaan dua jenis lumba-lumba ini pertama kali dilaporkan oleh Danielsen & Verheught (1990) dan dikonfirmasi keberadaannya oleh Iqbal (2004). Dua jenis ini adalah dua jenis yang sudah pasti tercatat di kawasan ini. Beberapa jenis lumba-lumba yang wilayah sebarannya di kawasan Pasifik barat (Western Central Pacific) yang terdapat dalam Kinze (2001) kemungkinan juga terdapat di Kawasan ini.

Status Perlindungan Lumba-lumba yang terdapat di sekitar Tanjung Api-api

Kedua jenis Lumba-lumba (Lumba-lumba bongkok dan Pesut) yang terdapat di sekitar lokasi pelabuhan Tanjung Api-api merupakan jenis yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia (Noerdjito & Maryanto 2001). Kedua jenis tersebut dilindungi melalui ; SK Mentan No. 35/Kpts/Um/10/1975 (tertulis Dolphin), SK Mentan No. 716/Kpts/Um/10/1980 (tertulis Cetacea) dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 (tertulis semua jenis dari famili cetacea).

Secara global, baik Lumba-lumba Bongkok maupun Pesut teramsuk dalam kategori Data Deficient atau Kurang Data (IUCN 2000). Sedangkan CITES (Convention International of Trade of Endangered Species atau Konvensi Internasional yang mengatur Perdagangan mengenai jenis-jenis yang terancam punah) memasukkan Lumba-lumba Bongkok ke dalam CITES Appendix 1 dan Pesut ke dalam Appendix II (Mardiastuti & Soehartono 2002).

Arti Penting Tanjung Api-api bagi Populasi Lumba-lumba

Lokasi pelabuhan Tanjung Api-api yang merupakan kawasan laut dan perairan sungai merupakan jenis habitat yang sangat disukai bagi Lumba-lumba bongkok dan Pesut. Dari beberapa referensi maka dapat diketahui bahwa daerah muara yang terlaetak di Sungai-sungai besar seperti kawasan Tanjung api-api merupakan habitat utama bagi pergerakan lumba-lumba dari laut menuju ke Sungai dan sebaliknya. Catatan yang dikompilasi oleh Reeves and Leatherwood (1994) menunjukkan bahwa pesut dan Lumba-lumba bongkok seringkali melakukan pergerakan dari sungai ke laut dan sebaliknya. Lumba-lumba bongkok seringkali bergerak masuk dari pesisir menuju ke sungai-sungai besar terutama daerah sungai yang pesisirnya memiliki hutan mangrove. Untuk pesut, jenis ini kadangkali masuk sangat jauh kedalam sungai-sungai besar. Di Sungai Gangga (India) jenis ini dapat bergerak menuju sungai sampai jarak 300 km dari laut dan di Sundans (Bangladesh) mereka dapat dijumpai masuk sampai 100 km dari laut.

Seperti halnya dengan Lumba-lumba bongkok dan pesut ditempat lain diatas, populasi Lumba-lumba bongkok dan Pesut diatas juga memiliki biologi yang serupa. Laporan-laporan masyarakat lokal mengenai teramatinya Lumba-lumba bongkok dan Pesut menunjukkan bahwa Lumba-lumba bongkok dan Pesut pesisir Banyuasin kerap kali masuk menuju hulu sungai (Iqbal Pers. Com 2005). Untuk pesut, seorang petugas Dinas perhubungan bahkan melaporkan pernah melihat Pesut di P 11 Karang Agung (lokasi perairan yang letaknya cukup jauh dari laut). Adapun untuk Pesut pesisir Banyuasin (termasuk wilayah Tanjung Api-api), populasi yang terdapat di kawasan ini diperkirakan melakukan pergerakan reguler dari pesisir Banyuasin menuju ke sungai-sungai besar disekitarnya (seperti Sungai Lalan dan Sungai Tanjung Sereh). Asumsi ini juga diperkuat dengan adanya laporan dari data tahun 1990 (Danielsen & Verheught 1990) mengenai teramatinya Pesut di sekitar Sungai Tanjung Sereh, dan laporan serupa dari masyarakat lokal mengenai hal ini.

Dampak Pembangunan Tanjung Api-api terhadap Populasi Lumba-lumba

Ada beberapa dampak yang diperkirakan akan terjadi terhadap populasi Lumba-lumba di Pesisir Banyuasin jika pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api jadi dilaksanakan. Dampak-dampak tersebut yaitu ;

1. Posisi pelabuhan Tanjung Api-api yang merupakan penghubung antara perairan laut dan Sungai-sungai besar akan sangat berpotensi memutus jalur pergerakan alami dari Lumba-lumba ini. Hal ini diduga kuat dapat mengakibatkan berkurangnya populasi Lumba-lumba di daerah tersebut.

2. Kegaduhan yang ditimbulkan akibat pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api diduga kuat akan sangat mengganggu sistem komunikasi mereka yang menggunakan sistem sonar (pantulan suara/getar yang dikeluarkan). Hal ini diduga kuat akan meningkatkan tingginya angka kematian (mortalitas) dari Pesut dan Lumba-lumba di kawasan Pesisir Banyuasin.

3. Pembangunan pelabuhan Tanjung api-api nantinya akan membabat hutan mangrove dikawasan pesisir Tanjung Api-api dan kemungkinan juga kawasan lain yang berdekatan (misalnya Sungai Bungin yang masih masuk kawasan TN Sembilang). Hal ini jelas akan mengurangi berkurangnya jumlah ikan dan biota laut karena hutan mangrove merupakan tempat bagi ikan-ikan memijah. Dengan berkurangnya jumlah ikan dan biota laut lainnya, maka sumber makanan lumba-lumba tersebut juga akan berkurang dan ini dikhawatirkan dapat menyusutkan jumlah populasi Lumba-lumba di pesisir Banyuasin.

Konversi Kawasan Hutan Lindung Mangrove

Keberadaan Pelabuhan Tanjung Api-Api, disamping manfaat terhadap ekonomi Sumatera Selatan tetapi sekaligus merupakan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, dalam hal ini adalah kawasan lindung hutan bakau dan Taman Nasional Sembilang. Mangrove atau hutan bakau menurut Kepres No. 32 Tahun 1990 adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.

Pembangunan ini diperkirakan akan merubah kawasan lindung mangrove menjadi cagar budibudaya (pelabuhan) seluas 5.960,23 hektar pada Sub Kawasan A (AMDAL dan RDTR Tanjung Api-Api 200,) untuk lokasi dermaga dan bongkar muat barang. Menurut SK. Menhut No. 48 Tahun 2004 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan, Perubahan Status Kawasan Lindung harus melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu :

  1. Penelitian Tim Terpadu terhadap kawasan hutan yang dimohon dan usulan tanah pengganti.
  2. Pelaksanaan Tata Batas oleh Panitia Tata Batas (PTB) terhadap kawasan hutan yang akan dilepas maupun tanah pengganti dan dibuat serta ditanda tangani Berita Acara Tata Batas (BATB) dan Peta Tata Batas.
  3. Peta Tata Batas Kawasan Setelah Dilepas dan Peta Usulan Kawasan Pengganti. Untuk Tata Batas kawasan yang dilepas dan kawasan pengganti harus disahkan oleh Keputusan Menteri.

Selanjutnya persyaratannya adalah sebagai berikut :

  1. Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
  2. Tidak menimbulkan enclave atau memotong-memotong kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang tidak layak.
  3. Tidak mengurangi cakupan luas minimal kawasan hutan dalam wilayah DAS (30%).
  4. Apabila berdampak penting dan cakupan luas serta strategis maka harus mendapatkan persetujuan DPR.

Dalam kasus Tanjung Api-Api ini, didalam dokumen Amdalnya sama sekali tidak pernah disebutkan rencana pengganti kawasan, letak dan luasannya serta hasil penelitian tim terpadu mengapa dan bagaimana kalau kawasan ini dirubah fungsinya padahal ini sangat penting dan masuk dalam kategori strategis karena :

  1. Perubahan fungsi kawasan mangrove seluas lebih kurang 5.960,23 hektar tentu akan berpengaruh terhadap fungsi kawasan sebagai water catchman area dan tempat tinggal biodiversity.
  2. Kawasan ini berdekatan dengan Taman Nasional Sembilang yang diresmikan satu tahun sebelum Lumbung Energi digulirkan. Didalam kawasan TNS hidup ribuan satwa dan tumbuhan, dan diantaranya adalah jenis-jenis yang langkah dan dilindungi.
  3. Mangrove yang terdapat disepanjang Sungai Banyuasin sampai ke pantai timur adalah kawasan mangrove terpanjang di Asia (lebih kurang 30 Km).
  4. Menurut SK Menhut No. 70 Tahun 2001 Kepentingan strategis adalah kepentingan yang mempunyai pengaruh besar bagi kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat serta diprioritaskan oleh pemerintah, antara lain untuk bangunan industri, pelabuhan atau bandar udara, maka pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api masuk dalam kategori kepentingan strategis untuk itu sebelum pelaksanaanya dia harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

Dampak Terhadap Mangrove

Hutan mangroove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangroove bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup didalam perairan, diatas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia yang hidup bergantung pada mangrove.

Para ahli sependapat bahwa hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, dengan fungsi bermacam-macam, yaitu fungsi fisik,biologi dan ekonomi atau produksi. Fungsi fisik: Secara fisik hutan atau ekositem mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindingi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah. Fungsi Biologi: Secara biologi hutan atau ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan yuwana jenis-jenis tertentu dari ikan, udang dan bangsa krustasea lainnya serta menjadi tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burung-burung dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktifitas yang tinggi. Produktifitas primer ekosistem mangrove ini, sekitar 400 – 5.000 g karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (white 1987). Oleh karenanya mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran, oleh fungsi, bakteri dan protozoa diurai menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana ( detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting, dll).

Fungsi ekonomi atau fungsi produksi. Selain mempunyai fungsi dan manfaat seperti tersebut di atas, ekosistem dan hutan mangrove juga sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Saeger et al. (1983) mencatat 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pertimbangan lain

Namun begitu tidak dipungkiri pula, keberadaan pelabuhan Tjg Api2 beserta akses jalannya, secara tidak langsung akan memberikan kemudahan akses menuju TNS. Sebelumnya akses hanya dapat dilakukan melalui transportasi air dr Palembang dan memakan waktu cukup lama dan melelahkan. Dengan adanya akses jalan ini, maka dpaat digunakan transportasi darat dan disambung dengan transportasi air sehingga waktu tempuh akan menjadi lebih singkat dan lebih murah. Hal ini akan memberikan dampak positif kepada pengelola kawasan untuk lebih mudah mencapai lokasi. Sehingga alasan kawasan jauh dan biaya mahal, sehingga pos jaga sering kosong sudah dapat dikurangi.

Faktor lain yang akan merasakan dampak positifnya adalah akan berkembangnya kegiatan ekowisata di TN Sembilang yang selama ini terkendala oleh mahal dan jauhnya tranportasi ke kawasan. Perlu dilakukan suatu koordinasi dan komitmen agar nantinya pihak masyarakat sekitar kawasan yang paling merasakan manfaatnya dengan berkembangnya kegiatan ekowisata sehingga mengurangi tekanan terhadap kawasan.

Pembangunan sebuah kantor atau Pos Jaga di sisi TNS beserta sarana dan prasarananya akan sangat membantu dalam kegiatan pengawasana kawasan, yang sebenarnya juga meringankan tugas dan tanggung jawab pengelola Pelabuhan.

Penetapan kawasan TN Sembilang juga didasari kepada fungsinya terhadap konservasi global selain karena keunikan bentang alamnya juga karena TNS merupakan habitat penting bagi berbagai flora fauna yang penting secara internasional. Belum lagi fungsinya sebagai paru-paru dunia. Gangguan dan kerusakan terhadap TN Sembilang tidak hanya mempengaruhi isu-isu lokal saja akan tetapi akan menjadi isu internasional pula. Untuk itu perlu dilakukan keputusan-keputusan yang tepat dan bijaksana.

Kesimpulan

1. Analisis kawasan dalam AMDAL harus lebih diperluas, tidak hanya terfokus pada Pelabuhan dan Jalan tetapi harus lebih luas dengan memasukkan keberadaan Taman Nasional Sembilang dan buffer zone-nya karena keberadaan Pelabuhan Tanjung Api-Api dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap TN Sembilang, apalagi batasnya hanya muara Sungai Banyuasin.

2. Tinjauan biodiversity yang muncul dalam AMDAL sangat sedikit, terkesan tidak serius dan asal-asalan padehal didaerah tersebut sangat kaya dengan biodiversity dilindungi terutama yang terdapat dihutan bakau, gambut dan air. Misalnya burung yang teridentifikasi hanya 16 jenis padehal daerah Tanjung Api-Api adalah daerah persinggahan burung migran yang berjumlah ribuan ekor per tahun.

3. Pengalihan atau perubahan status kawasan lindung bakau harus mengacu kepada SK Menhut No. 70 Tahun 2001 dan SK. Menhut No. 48 Tahun 2004 tentang perubahan status kawasan, dimana setiap perubahan status kawasan harus dilaiukan kajian ilmiah oleh tim terpadu dan disediakan kawasan penggantinya dan dalam AMDAL ini tidak disinggung sama sekali kemana dan bagaimana pengalihannya.

4. Keterlibatan masyarakat harus lebih diperluas, dalam AMDAL yang terlihat baru Desa Sungsang I padahal yang sangat dimungkinkan akan terkena dampak adalah rasyarakat yang tinggal di Sungai Bungin, Teluk Payou dan Solok Buntu.

5. Untuk melengkapi asumsi dan informasi diatas, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut/khusus untuk memperkirakan dampak-dampak yang akan terjadi sehubungan dengan pembangunan pelabuhan tersebut. Suatu tim kajian independen sangat disarankan untuk dibentuk dan segera bekerja sebelum segalanya menjadi terlambat.

6. Perubahan fungsi mangrove menjadi pelabuhan akan merubah fungsi mangrove sebagai fungsi fisik, ekonomi dan biologi.


2 komentar:

suzannita mengatakan...

ya... ada konsekuensi yang harus diambil dari semua keputusan itu, termasuk membabat hutan mangrove, satu bukti air laut sudah mulai masuk ke sungai musi, bagaimana akhirnya dan kehidupan orang palembang yang bergantung dengan sungai musi jika air laut telah memenuhi sungai musi

Dolly Reza Pahlevi mengatakan...

persoalannya ada ketidakadilan dek.. bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan diperuntukan untuk hidup hajat orang banyak sesuai dengan cita-cita republik Indonesia (UUD 1945). Nah susan boleh cek sendiri adakah keadilan??? apa, siapa, bagaimana?