Selasa, 26 Februari 2008

Industrialisasi

Ancaman Ekologi dan Sosial Ekonomi

Yang Semakin Meminggirkan Hak-Hak Rakyat


Ancaman Investasi HTI di Sumatera Selatan

Luas kawasan di Sumatera Selatan 11.212.317 Ha. Luas kawasan hutan (2005) 5.011.700 Ha.



No.

Jenis Hutan

Luas/Hektar

Persentase

1

Hutan lindung

847.300

16,91

2

Suaka Alam dan Hutan Wisata

822.300

16,40

3

Hutan Produksi Terbatas

298.600

5,95

4

Hutan Produksi Tetap

2.269.400

45,28

5

Hutan Konversi

774.100

15,44


TOTAL

5.011.700

100

Program Sumsel sebagai lumbung Pangan Nasional semakin memicu masuknya peran investasi. Pemerintah Provinsi Sumsel telah melakukan program Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan luas areal 1,4 juta ha pada 2005.

Data Dinas Kehutanan 2006 Luas kawasan hutan 2,28 juta hektar (ha) diperkirakan dalam kondisi kritis.

Sebaran Konsesi HTI di Sumsel

Luas lahan konsesi HTI di Sumatera Selatan 2006

No.

Nama Perusahaan

Wilayah konsesi

Luas lahan

1.

Sinar Mas group (PT. SBA Wood, Bumi Mekar Hijau)

3 kecamatan Selapan, Sengal dan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir

600.000 hektar (ha)

2.

PT. Musi Hutan Persada

Wilayah Suban Jeriji (Muara Enim dan Ogan Komering Ulu)

Musi Banyu Asin (Muba), Musi Rawas

Wilayah Benakat (Muara Enim, lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin)

120.470 hektar (ha)

104.100 hektar (ha)

222.450 hektar (ha)



Sekilas Tentang PT Tel PP

PT Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper terletak di Kabupaten Muara Enim Kecamatan Rambang dangku, dibangun pada tahun 1995 diatas tanah seluas 1.250 ha dengan menggusur kawasan pertanian produktif, seperti karet, padi, duku dan durian. PT Tel ini disokong oleh sindikasi pendanaan dengan perbandingan 30% modal dalam negeri, pinjaman 70% senilai US$ 650 juta, sisanya dari pinjaman berupa kredit ekspor dan pinjaman konersial. Investasi yang ditanamkan dalam proyek ini lebih dari US$ 1 Milyar, atau sebesar 7 Triliun Rupiah, jika menggunakan nilai kurs Rp.7000,-/Dolar. Investor berasal dari dalam dan luar negeri yakni ;PT. Barito Pacific Group, PT. Citra Lamtorogung, PT. Mukti Lestari Kencana, OECF Jepang, Marubeni Corp, Nippon Paper Industries, Morgan Glenfel Co. Swedia. Dan melibatkan sindikasi berbagai Bank, Export Development Corp (Canada), Finish Export Credit Ltd dan Merita Bank Ltd (Finlandia), Skandinaviske Enskilda Banken (Swedia), Korea First Bank (Korea Selatan), Fuji Bank, Bank Of Tokyo-Mitsubishi(Jepang) dan Bank Austria(Austria).

PT Tel pp mengolah Accasia Mangium sebagai bahan mentah yang disupport oleh HTI milik PT Musi Hutan Persada (MHP) yang dikuasai PT inhutani dan Barito Fasifik Timber Group.

Dalam Proses perwujudan HTI dengan konsesi 300.000 ha ini berlaku paktek kotor seperti wacana yang berkembang dimasyarakat. Dengan bentuk pendekatan militeristik, intimidasi, dan perampasan hutan adat dan tanah rakyat. Di Kecamatan penukal Abab Muara Enim, di Kawasan PT MHP dijadikan Kawasan Latihan Militer. Bekas kekerasan tersebut terbukti dari bekas lars yang menjebol pintu dan palang utama atap rumah warga desa S.Langan.

Lahan Rakyat seluas 12.000 ha akhirnya dikembalikan ke eks Marga Rambang Kapak Tengah I setelah melalui perjuangan panjang (Sriwijaya Post, 28/4/2000), hal ini menjadi bukti bahwa PT MHP telah merampas tanah rakyat.

Tabel. 1 Struktur Modal Proyek PT TEL PP

PT. Barito Pacific Timber + PT Tridan Satriapura

US $ 200.000.000,-

OECF Jepang

US $ 45.000.000,-

Marubeni, Co

US $ 47.000.000,-

Nippon Paper Industries

US $ 8.000.000,-

OECF, Marubeni & Nippon Paper Ind Bergabung Menjadi Sumatera Paper Corporation

North America + Europe

US $ 650.000.000,-

Bank of Scotland

US $ 431.000.000,-

Total Investasi US $ 1.291.000.000,-


Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Desa Korban PT. TEL PP

NO

Desa/ Kecamatan

Luas Wilayah

Jumlah

Penduduk / KK

Pemanfaatan Sungai

1

Banuayu/

Rambang Dangku

1400 Ha

2600/544

Ø Sumber Air

Ø MCK

Ø Transportasi

Ø Pertanian

2

Muara Niru/

Rambang Dangku

3330 Ha

1209/344

Ø Sumber Air

Ø MCK

Ø Transportasi

Ø Pertanian

3

Tebat Agung/

Rambang Dangku

2250 Ha

3382/1028

Ø Transportasi

4

Gerinam/

Rambang Dangku

1400 Ha

760/184

Ø Transportasi

5

Kuripan/

Rambang Dangku

3210 Ha

3687/1059

Ø Sumber Air

Ø MCK

Ø Transportasi

Ø Pertanian

6

Dalam/

Gunung Megang

2500 Ha

3571/600

Ø Sumber Air

Ø MCK

Ø Transportasi

Ø Pertanian

7

Baturaja/

Rambang Dangku

4025 Ha

1794/260

Ø Sumber Air

Ø MCK

Ø Transportasi

Ø Pertanian

Praktek-praktek Investasi

Masuknya industri dilahan masyarakat dengan tekanan&penipuan

- Didukung sepenuhnya oleh pihak Pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat, propinsi, kabupaten sampai aparat desa, dan adanya bala bantuan dari pihak Militer dan Kepolisian yang telah menjelma menjadi tukang pukul perusahaan. Memburu para petani yang tidak mau melepaskan lahannya, intimidasi, teror, penipuan, stigmatisasi komunis, anti pembangunan sampai dengan kekerasan fisik yang didukung sepenuhnya oleh Kepolisian dan Militer demi mengejar keuntungan. Tak jarang penggusuran lahan dilakukan pada malam hari, pada sore hari petani pulang kerumahnya, keesokan harinya mereka sudah mendapatkan kebunnya sudah rata dengan tanah.

- Pemda setempat ternyata memiliki naluri bisnis yang tinggi, dengan melanggar instrumen hukum mereka menjadi makelar (calo) tanah antara pihak perusahaan dengan penduduk। Upaya pembebasan lahan dimulai tahun 1995। PT TEL mengucurkan dana sebesar Rp 1,6 Milyar yang kesemuanya di serahkan ke Pemda Muara Enim, dengan janji pihak perusahaan terima beres। Warga tani dipaksa menerima ganti rugi Rp 5।000,-/batang karet (harga saat itu Rp 11.000,-/batang), mereka juga terpaksa merelakan jumlah batang karet mereka dimanipulasi. Akhirnya terungkap bahwa Pemda Muara Enim meminta ganti rugi kepada PT TEL dan meminta biaya operasional sebesar Rp 657.764.800,- melalui surat Bupati Muara Enim No। 593/1264/I.1/1995.


III. Korban Industri

- Penduduk di tujuh desa yaitu, Desa Dalam, Banuayu, Muara Niru, Tebat Agung, Gerinam, Baturaja dan Kuripan dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Megang dan Kecamatan Rambang Dangku, Muara Enim yang menjadi areal Pabrik Pengolahan Pulp&Paper.

- Sebelum adanya penggusuran, warga sekitar PT TEL mengusahakan tanaman karet dengan luas sekitar 2 Ha/KK, yang dapat menghasilkan getah rata-rata 10 kg/hari/Ha (masa aktif menyadap karet adalah 21 hari/bulan) dengan harga jual Rp 1.500,-/Kg (sekarang harga jual karet berkisar 4.500 – 6000 rupiah/kg) .

-

Selain itu, disana terdapat pula lahan yang sengaja dijadikan “hutan peramuan”, yang dipergunakan masyarakat, utamanya untuk bahan kayu bakar dan bahan bangunan, disamping terdapat tumbuhan tertentu yang dipergunakan untuk pengobatan।

- Sungai lematang untuk kegiatan sehari-hari seperti antara lain; mandi, mencuci, mencari ikan, tambak, sarana transportasi. Sungai Lematang melewati empat kota yang ada di Sumatera Selatan yaitu Pagar Alam, Lahat, Muara Enim dan Prabumulih yang bermuara ke sungai Musi.

- Gejolak dimasyarakat juga muncul karena persoalan ketenaga kerjaan. Warga sekitar lokasi pabrik kehilangan mata pencaharian, akibat aset produksi mereka (lahan perkebunan) digusur untuk areal industri. Malah ada yang menjadi pemulung disekitar areal pembangunan pabrik.

- Bau limbah menusuk dan sangat mengganggu masyarakat। Membuat masyarakat desa disekitarnya sering mengalami mual, muntah, mata perih। Selain itu menyebabkan tanaman rusak, kerdil dan gagal panen।

- Muncul ketakutan-ketakutan akan pencemaran dikalangan kaum perempuan yang aktivitasnya tinggi di sungai Lematang. Penyakit kulit seperti gatal gatal, koreng, khususnya dirasakan sekali oleh banyak perempuan dan anak anak. Setiap harinya perempuan memang mempunyai waktu bersentuhan lebih banyak dibanding laki laki yang dilakukan rutin setiap hari. Kegiatan di air seperti mencuci peralatan dapur, bahan masakan, pakaian, memandikan anak, tidak jarang perempuan juga mencari ikan dan mengontrol tambak seperti laki laki (biasanya pada saat suami atau anak laki lakinya tidak ditempat, ada pekerjaan lain, kadang karena memang suka). Hasil analisa medis dari tim dokter yang diundang oleh Walhi Sumsel untuk uji kesehatan terhadap masyarakat menyatakan terindikasi secara jelas bahwa kelainan pada kulit (penyakit kulit) tersebut disebabkan kandungan unsure logam, zat zat dan senyawa yang sesuai dengan unsure – senyawa limbah perusahaan. Ada kasus perempuan, ibu rumah tangga mengalami dan gagal melahirkan.

- Produksi ikan menurun, dari 4 Kg/hari menjadi 1 Kg/hari karena penurunan kualitas air

- 1250 Ha hutan yang diubah menjadi kawasan pabrik, perumahan dan perkantoran, berdampak meningkatnya suhu udara, hal ini sangat dirasakan warga, karena sangat berbeda dari sebelum datangmya perusahaan.

- Areal pabrik dan perumahan karyawan dijaga ketat oleh pihak militer selain keamanan dari perusahaan sendiri. Selain itu didepan pintu masuk pabrik dipasang papan tulisan “Daerah Latihan Militer” untuk menakuti warga. Militer juga selalu dilibatkan dalam setiap usaha penyelesaian kasus antara warga dengan perusahaan.

- Menjamurnya warung remang-remang di sekitar pabrik, yang menyediakan minuman keras dan wanita tunasusila. Berdasarkan amdal PT. TEL sendiri disebutkan di sekitar lokasi pabrik akan di adakan lokalisasi sebagai sarana hiburan pekerja perusahaan.

IV. Aksi aksi masyarakat

- Penutupan jalan utama menuju pabrik PT TEL yang mengakibatkan kontraktor pengerjaan pabrik mengalami kerugian sebesar 70 ribu Dolar AS karena karyawan tidak dapat melakukan aktivitas sementara upah mereka harus tetap dibayar (Sriwijaya Post, 15 Februari 1999),


- Aksi kaum perempuan desa sambil bertelanjang (bugil) memagari tanah desa ketika bulldozer perusahaan hendak menghancurkan perkebunan mereka. Tidak hanya sampai disitu, aksi-aksi di tingkatan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai ke Jakarta bahkan ke tingkat Internasional (Jepang) juga telah dilakukan.


- Beratus-ratus surat protes yang dibuat oleh petani serta Ornop Lingkungan dan HAM telah dikeluarkan.


- Masyarakat memngorganisir diri membentuk ikatan dalam organisasi. Antara lain tergabung dalam KSKP (Kesatuan Solidaritas Kesejahteraan Petani), IMASS (Ikatan Masyarakat Adat Sumatera Selatan)


- Berbagai pengujian kondisi oleh masyarakat dan dibantu tim ilmiah untuk membuktikan uji kesehatan lingkungan dan masyarakat

V. Respon pemerintah dan perusahaan

- Tenang tenang saja… Industri dan laju produksi adalah target utama. Beberapa orang tokoh masyarakat “dijinakkan”. Kalau tidak “dibeli” bisa “dikriminalkan”.

- Perusahaan membuat sumur sumur untuk dikonsumsi masyarakat, sebagai jawabannya terhadap protes masyarakat atas perubahan kondisi sungai

- Menjanjikan prospek tenaga kerja, berbuntut pada gejolak sesama masyarakat berebut pekerjaan

- Masyarakat sekitar PT TEL tetap menuntut perusahaan. Ada desa yang menuntut agar PT TEL memberikan kesempatan kerja, tetapi ada juga yang menuntut pengembalian lahan. Pada bulan agustus tahun 1999 pihak PT TEL akhitnya berhasil mempengaruhi warga sekitar PT TEL untuk menerima uang tambahan ganti rugi sebesar Rp. 1.500.000,-.

PT. SBA Wood

Palembang, Rabu 19 April 2006

Kecewa dengan janji palsu Komisi II DPRD Sumatera Selatan, Masyarakat melakukan aksi di camp (kronologis Aksi Masyarakat Riding)

Masyarakat sejak pagi menjelang siang melakukan aksi di camp perusahaan yang berlokasi di daerah Penyabungan luar/dusun 3 desa Riding, aksi ini bertujuan untuk meminta penjelasan penyelesaian sengketa.

Humas PT. SBA Sambosir. Sambosir datang ke lokasi Camp perusahaan sekitar jam 2 siang, dikawal oleh 3 orang polisi (menurut informasi warga bersala dari satuan brimob polda sumsel) dengan menggunakan helikopter, langsung diblokade warga dan dituntut memberikan penjelasan soal penyelesaian sengketa mereka dengan perusahaan.

Tidak puas dengan penjelasan Sambosir atas pertanyaan masyarakat, Sambosir dan pengawalnya (3 orang anggota polisi) dihalau untuk tidak pulang dengan menggunakan helikopter yang dibawanya dan diajak masyarakat untuk ke dusun 1 desa Pampangan yang berjarak sekitar 17 kilometer dari lokasi camp perusahaan tersebut dengan menggunakan truk. Rencananya akan dibawa kerumah Kepala Desa untuk dimintai keterangan dan kejelasan soal upaya penyelesaian sengketa.

Informasi (jam 17.30); Sambosir dan 3 orang polisi pengawalnya sudah berada dirumah Kepala Desa Riding dengan pengawalan ketat masyarakat untuk melakukan dialog dengan utusan masyarakat di rumah kepala desa Riding.

Informasi perkembangan terakhir (jam 21. 20); saat ini masih terus berlangsung proses dialog negosiasi masyarakat dengan humas perusahaan tersebut di rumah kepala desa Riding.

Aksi yang dilakukan oleh masyarakat ini adalah akumulasi dari kekecewaan mereka kepada aparatur pemerintahan negara, dalam hal ini adalah pihak DPRD Sumsel karena dinilai ingkar janji dan tidak ada upaya kongkrit terhadap aspirasi masyarakat sebagai tindak lanjut upaya penyelesaian sengketa PT. Sinar Bumi Agung Woods (SBA Woods) dengan masyarakat Desa Riding Kecamatan Pampangan OKI,

Sebelumnya, dalam dialog dengan komisi 2 DPRD Sumsel tanggal 6 April di ruang sidang komisi II yang dipimpin oleh Denny (Sekretaris Komisi II) DPRD Sumsel menjanjikan akan menurunkan tim kelapangan yang khususnya terdiri dari unsur Pemprov untuk melakukan tinjauan posisi kasus sengketa lahan masyarakat OKI tersebut..

Sumber informasi dari warga mengatakan; hingga konfirmasi yang dilakukan oleh utusan warga secara langsung kepada Denny kemarin (18 April 2006) beliau menyatakan tim turun kelokasi tidak jadi dengan alasan lupa…

Dialog tanggal 6 april 2006 ini dilakukan sebagai tindak lanjut respon DPRD Sumsel atas aksi yang dilakukan oleh sekitar 1500an warga Riding, Jermun, Talang Nangka, Siju, Secondong di halaman Pemprov dan DPRD sumsel (tanggal 21 Maret 2006) yang menolak HTI dan Perkebunan Kelapa Sawit dan menuntut pengembalian lahan desa mereka yang di okupasi oleh perusahaan besar Industri HTI (SBA Woods) & Perkebunan Kelapa Sawit (PT. PSM).

Sebelum aksi di pemrov dan DPRD Sumsel, sejak bulan desember 2005 lalu masyarakat sudah merulang kali melakukan rangkaian aksi di kabupaten OKI namun tidak mendapat tanggapan positif dari pemerintah, bahkan tiga orang warga mengalami proses dijadikan polisi sebagai tersangka atas pengaduan oleh pihak PT। SBA woods.


4 komentar:

Anonim mengatakan...

mari bersatu
selamatkan hutan indonesia
khususnya hutan sumatera..

Dolly Reza Pahlevi mengatakan...

Ajaklah teman, keluarga orang-orang yang mencintai hutan untuk menolak PP no 2 th 2008 tentang sewa hutan lindung, hutan adat kepada pwngusaha dengan harga murah 300 rp/hektar....
Atau donasikan uang anda menyewa hutan untuk meyelamatkan dari para pengusaha, dan hutan tersebut tidak akan di eksploitasi

yanti mengatakan...

PT TEL walaupun udah dapet PROPES hijau n satu2nya industri di sumsel yg bagus AMDALnya dari BAPPEDAL kaya'nya msh tetep nyumbang cemaran ke sungai deh..
susah bang, walaupun kita nolak mati2an xploitasi hutan, kayak kasus tanjung api2. walaupun seluruh akademisi dan studi AMDALnya menolak tp msh tetep aja disetujui.
walaupun ujung2nya tetep ada kasus, ya gitu deh klo ga diridhoi masyarakat sumsel, ga bakal jalan..

Dolly Reza Pahlevi mengatakan...

ini bukan persoalan ridho ngga ridho... pertanyaannya apakah ketika sudah terjadi (ridho) kemudian seenaknya melakukan pencemaran, pembababatan hutan oleh investor, dll. tetapi ketidakadilan sedang terjadi, siapa yang diuntungkan? apa saja kontribusinya, bagaimana??? padahal amanat undang-undang dengan tegas bahwa bumi dan air dan tanah serta kekayaan didalamnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.